SAMOSIR
Tim kuasa hukum Marulitua Lumban Raja mempraperadilkan (Prapid) Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kabupaten Samosir, karena dinilai telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam menetapkan Marulitua Lumban Raja sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi.
“Kami selaku Kuasa Hukum Marulitua Lumban Raja sudah daftarkan permohonan Prapid itu ke Pengadilan Negeri (PN) Balige pad Hari Rabu (24/11/2021) kemarin,”ujar Ketu Tim Kuasa Hukum, Daulat Sihombing, SH, MH didampingi anggota tim Henry Siallagan, SH kepada wartawan, Jumat (26/11/2021).
Daulat menjelaskan kliennya ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejari Samosir atas dugaan tindak pidana korupsi Pengadaan Sistem Informasi Kependudukan Desa di Kabupaten Samosir TA 2016. Penetapan tersangka tersebut dinilainya tidak sah secara hukum, karena tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan regulasi lain yang berkaitan.
Ada tujuh poin alasan mengajukan prapid yakni Pertama, pemohon tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka. Padahal, mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor : 21/PUU-XII/2014, frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Ketentuan ini tidak dipenuhi oleh Kejari Samosir karena Marulitua Lumban Raja sama sekali tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka.
Kedua, pemohon ditetapkan sebagai tersangka, berdasarkan hasil audit BPKP, bukan berdasarkan audit BPK. Padahal, secara konstitusional sebagaimana tertuang dalam Pasal 23E uud 1945, kewenangan memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara adalah di tangan BPK. Hal ini dipertegas dalam Pasal 1 angka 1 UU BPK yang menentukan bahwa, “Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945”.
Ketiga, pemohon ditetapkan sebagai tersangka, akan tetapi terus-menerus dilakukan penyidikan. Tindakan tersebut kata Daulat, adalah salah satu bentuk kesewenang-wenangan Penyidik. Dimana Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka, tetapi masih terus-menerus dimintai keterangan. Hal ini bertentangan dengan makna sesungguhnya dari pengertian “penyidikan”. Sebab, penetapan tersangka merupakan proses yang letaknya di akhir proses penyidikan. Menemukan tersangka menjadi bagian akhir dari proses penyidikan.
Keempat, Kejari Samosir tidak cukup bukti menetapkan Marulitua Lumban Raja sebagai tersangka. Hal ini beranjak dari ketentuan Pasal 2 ayat (1), Subsider Pasal 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, tanggal 25 Januari 2017. Unsur- unsur tindak pidana korupsi pada pokoknya meliputi “Setiap orang atau korporasi”, “Melawan hukum”, “Memperkaya diri sendiri”, “Orang lain atau suatu korporasi” dan “Merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”.
“Kami sangat meragukan adanya unsur “merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”, sebab pengadaan perangkat Informasi dan Teknologi Desa, berupa : “laptop 1 unit, printer 1 unit, modem 1 unit dan aplikasi sistem informasi kependudukan” dilakukan dengan cara belanja langsung melalui mekanisme tawar- menawar antara Pemohon sebagai Penjual dan Para Kepala Desa sebagai Pembeli,”katanya.
Daulat menambahkan, Kelima, pemeriksaan Marulitua Lumban Raja sebagai mulai dari terlapor, saksi, hingga tersangka, tidak didampingi penasehat hukum. Sehingga menurutnya kliennya telah memberikan keterangan secara tidak berimbang dan tidak fair karena berada di bawah tekanan psikologis. Padahal, perkara yang disangkakan kepada Marulitua Lumban Raja, diancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
Sementara, Pasal 56 ayat (1) KUHAP sudah jelas mengatur, “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka”.
Keenam, perbuatan Marulitua Lumban Raja dalam pengadaan perangkat informasi dan teknologi desa, yang meliputi laptop 1 unit, printer 1 unit, modem 1 unit dan aplikasi sistem informasi kependudukan dengan pagu anggaran sebesar Rp. 15 Juta, pada prinsipnya murni merupakan hubungan keperdataan, sebab transaksi dilakukan atas dasar kesepakatan dan belanja langsung.
Serta ketujuh, penetapan tersangka tersebut merupakan tindakan kesewenang-wenangan dan bertentangan dengan asas kepastian hukum. Sebab, tidak memenuhi kaidah-kaidah yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan.
“Atas dasar itu lah penetapan tersangka terhadap Marulitua Lumban Raja tidak sah secara hukum, dan PN Balige dimohon untuk memerintahkan Kepala Kejari Samosir untuk menghentikan penyidikan dalam perkara ini,”Pungkas Daulat Sihombing.
Penulis / Editor : Freddy Siahaan