NIAS II
Akibat cuaca ekstrem krisis pangan terjadi di Kecamatan Simuk, Kepulauan Batu, Kabupaten Nias Selatan, Sumut.
Camat Simuk, Gentelman Bago mengatakan stok pangan mulai menipis dalam 10 hari terakhir. Warung-warung yang menjual pangan sudah kehabisan stok karena kapal pengangkut logistik tak bisa sandar di Pelabuhan Simuk akibat cuaca ekstrem.
“Mulai menipis stok pangan itu, di hari ke-10. Tapi saat itu masyarakat masih bisa mendapatkannya. Kemudian tujuh hari yang lalu, masyarakat hanya konsumsi roti, mie instan, terigu, ketan, dan sagu,” katanya, Kamis (21/9).
Bago menerangkan dalam tiga hari terakhir, stok bahan pokok di wilayah itu benar-benar habis. Tak ada lagi warung yang menjual bahan makanan, warga pun terpaksa mengonsumsi sagu.
“Jadi tiga hari lalu yang bisa dibeli di warung-warung itu betul betul habis. Dan masyarakat hanya konsumsi sagu yang diolah menjadi makanan,” jelasnya.
Kondisi tersebut, tambahnya menyebabkan anak anak menjadi sakit karena tak terbiasa makan sagu. Anak anak tersebut saat ini dirawat di puskesmas yang ada di wilayah itu.
“Beberapa hari ini ada beberapa anak yang sakit seperti mencret dan demam. Tapi, Puji Tuhan tidak ada yang sampai meninggal dunia. Anak anak semua yang masuk puskesmas karena tidak terbiasa makan sagu. Apalagi hari hari sebelumnya makan mie instan tentu bermasalah perutnya,” tutur Bago.
Ia mengakui dulunya warga Kecamatan Simuk memang mengonsumsi sagu sebagai makanan pokok. Namun, seiring berjalannya waktu, warga mulai mengkonsumsi beras.
Selain itu, banyak pohon sagu yang ditebangi dan digantikan dengan pohon kelapa
“Dulu warga di sana memang makan sagu. Tapi dulu kan jumlah penduduk di sana belum sebanyak sekarang. Dan lahan lahan sagu dulu kan masih terbiarkan. Tapi sekarang lahan lahan yang ada sagunya ditebangi masyarakat dan ditanam pohon kelapa,” sebutnya.
Selain itu, kondisi tanah di Pulau Simuk mayoritas pasir berbatu. Sehingga tak sembarangan tanaman bisa tumbuh subur.
“Seluruh tanah di Simuk itu pasir berbatu sehingga tak sembarangan tanaman bisa hidup. Ditanam sawah , jagung tak bisa, ditanam ubi tak berumbi. Paling masyarakat makan daunnya aja, itupun tak bertahan lama. Selain itu, sayur sayur selama ini pasokannya dari Teluk Dalam atau Pulau Telo,” kata Bago.
Ia menyebutkan di Kecamatan Simuk ada 6 desa yang dihuni sekitar 510 kepala keluarga dengan total hampir 3.000 jiwa.
Selama ini, mayoritas warga menggantungkan pencariannya dari bertani kelapa atau mengolah kopra. Hanya sekitar 5 persen yang menjadi nelayan.
“Di sini nelayan sangat sedikit, paling 5 persen. Jadi mereka menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka saja. Karena lingkungannya ekstrim, ada angin sedikit, masyarakat gak berani melaut. Jadi mayoritas mereka menjadi petani kelapa,” ujar Bago.
Ia berharap pemerintah pusat bisa memberikan perhatian lebih untuk Pulau Simuk yang kini terancam kelaparan.
Dalam beberapa waktu terakhir, ia juga sudah melaporkan kondisi ini kepada Pemerintah Kabupaten Nias Selatan.
Pulau Simuk menjadi salah satu pulau terluar Indonesia yang berada di pantai Barat Sumatera berbatasan dengan Samudera Hindia.
Berdasar Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2017, ada enam desa di Pulau Simuk, yakni Desa Gobo, Desa Gobo baru, Desa Silina, Desa Silina Baru, Desa Maufa, dan Desa Gondia. (*/ROM)





