JAKARTA
Perkumpulan marga Hutabarat se-Indonesia atau dalam bahasa Batak disebut Punguan Sirajanabarat yang tergabung di bagian hukum, Rabu (3/8) menemui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD untuk melakukan audiensi menyangkut kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Pheo Hutabarat selaku kuasa hukum marga mengatakan pihaknya akan menyampaikan dua distorsi (pembalikan fakta) dalam kasus kematian Brigadir J agar segera diselesaikan oleh penegak hukum.
“Kami sampaikan ke masyarakat dengan dua distorsi ini bisa diselesaikan maka kami yakin kasus adik kami Brigadir J Hutabarat akan menuju pada kebenaran,” kata Pheo yang didampinggi ayah almarhum Brigadir J , Samuel Hutabarat dan sejumlah advokat di Punguan Sirajanabarat.
” Jadi tuntutan kami yang pertama sudah dipenuhi,” ujarnya.
Dikatakan Pheo untuk distorsi yang kedua adalah penegak hukum diduga berupaya menutup-nutupi pengungkapan kasus kematian Brigadir J.
“Tuntutan kedua kami akan bawa bukti bahwa sejak dari awal pengukapan kasus ini sudah ada tindak yg kami duga tindak pidana menutup-nutupi kasus,” tuturnya.
Sementara itu, Pheo mengatakan bahwa Presiden Jokowi (Joko Widodo) sejak awal telah meminta bahwa kasus kematian Brigadir J tidak boleh ditutup-tutupi.
“Jadi kami sampaikan juga selaras pernyataan presiden, jangan ditutupi,” katanya.
Sedangkan, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menyebut kasus penembakan Brigadir J bukanlah kriminal biasa.
“Saya katakan, maaf ini tidak sama dengan kriminal biasa, sehingga memang harus bersabar karena ada psiko-hierarki, ada juga psiko-politis nya,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini usai pertemuan.
Mahfud Md menyebut secara teknis penyidikan untuk kasus ini sebenarnya mudah, berdasarkan cerita dia dengan beberapa purnawirawan polisi. Bahkan, kasus ini bisa selesai di tingkat Polsek.
“Itu kan tempatnya jelas ini kita sudah tahu lah, tapi saya katakan, oke jangan berpendapat dulu, biar Polri memproses,” katanya.
Akan tetapi, ada faktor psiko-hirarki, psiko-politis, dan faktor lainnya yang membuat penyidikan kasus memakan waktu. Hanya saja, Mahfud tidak merinci lebih lanjut yang dia maksud dengan kedua faktor ini.
“Sehingga kita semua harus sabar tetapi saya katakan kemajuan-kemajuan (penyidikan kasus) sudah bagus,” kata Mahfud.
Awalnya, Mahfud mencontohkan kasus penembakan yang terjadi pada 8 Juli dan baru diumumkan tiga hari kemudian. Publik pun ribut dan akhirnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun merespons dengan membentuk Tim Khusus.
Lalu, publik masih tak puas dan beberapa pihak dinonaktifkan agar penyelidikan objektif. Sehingga, Listyo pun menonaktifkan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo dan dua orang lainnya. Lalu publik meminta autopsi juga melibatkan institusi lain di luar Polri dan akhirnya dipenuhi oleh Listyo.
Lalu terakhir, publik meminta perkara ditarik saja ke Bareskrim Mabes Polri.
“Jangan di Polda, itu bisa bias. Karena ada irisan-irisan perkawanan, irisan jabatan, irisan struktural, itu tidak bagus, ditarik perkara itu (ke Bareskrim),” kata Mahfud.
Sehingga, Mahfud menilai Kapolri sudah melakukan langkah yang terbuka dan tinggal nanti pada akhirnya semua pihak akan mengawal kasus ini.
“Saya tidak punya pendapat siapa yang salah apakah Brigadir J atau Sambo atau Bharada E atau siapa,” ucapnya.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi, kata Mahfud, telah meminta kasus ini dibuka sejujur-jujurnya. Meski demikian, Mahfud menyebut dirinya tidak boleh masuk ke ranah Pro Justitia. “Tapi mengawal pelaksanaannya dari sudut kebijakan negara, bukan dari teknis penyidikan,” ucapnya.(*/rom)