Oleh: Yuda Christafari (Ketua EK-LMND Siantar)
Ada penyakit aneh yang kini menghantui banyak bangsa modern: keinginan untuk sembuh tanpa mengingat, untuk memaafkan tanpa menghadapi, dan untuk memuliakan tanpa memahami.
Indonesia sedang menderita penyakit itu. Negara mulai mempertimbangkan untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Jenderal Soeharto, sosok yang kekuasaannya meninggalkan luka dalam pada nurani bangsa.
Perdebatan ini bukan tentang apakah Soeharto pernah meminta disebut pahlawan. Ia memang tidak pernah memintanya.
Pertanyaan yang sesungguhnya adalah: mungkinkah sebuah bangsa yang mengaku menjunjung keadilan memuliakan simbol penindasan?
Ini bukan sekadar urusan politik. Ini adalah persoalan etika. Sebuah pertaruhan tentang seberapa jauh suatu bangsa bersedia melupakan penderitaannya sendiri.
Kekuasaan, seperti yang pernah ditulis Michel Foucault, tidak hanya menindas. Ia juga memproduksi kebenaran.
Dan hari ini, kekuasaan kembali berusaha memproduksi “kebenaran” baru: bahwa masa penuh ketakutan, sensor, dan korupsi di bawah Soeharto dapat dikenang sebagai masa stabilitas dan kemakmuran.
Namun “stabilitas” itu dibangun di atas kesunyian orang mati dan kepasrahan orang hidup.
Lebih dari setengah juta rakyat Indonesia terbunuh dalam pembantaian 1965–1966. Buruh dibungkam karena mogok. Jurnalis dipenjara karena menulis. Mahasiswa ditembak karena berbicara. Tanah rakyat dirampas atas nama “pembangunan.”
Tak ada pencakar langit, pertumbuhan ekonomi, atau parade militer yang mampu menebus biaya moral dari masa itu.
Mereka yang menolak pemuliaan Soeharto tidak digerakkan oleh kebencian. Mereka digerakkan oleh penolakan terhadap amnesti yang disamarkan sebagai amnesia.
Sebagian orang bertanya: “Mengapa harus marah? Mengapa tidak memaafkan saja?”
Namun kebenaran bukanlah kemarahan. Kebenaran adalah syarat pertama bagi perdamaian yang sejati.
Mengingat ketidakadilan bukan berarti memelihara kebencian.
Mengingat berarti menjaga agar nurani tetap hidup.
Seperti yang pernah diingatkan Hannah Arendt, bentuk kejahatan paling berbahaya adalah kejahatan yang banal: ketika masyarakat menganggap kesalahan sebagai sesuatu yang wajar demi kenyamanan.
Memaafkan tanpa kebenaran bukanlah rekonsiliasi. Itu penyerahan diri.
Dan menyerah pada kelupaan bukanlah kedamaian. Itu pembusukan.
Setiap generasi memiliki tanggung jawab moral untuk tidak mewarisi kebohongan.
Keadilan bukanlah balas dendam. Keadilan adalah keberanian menegakkan kebenaran di tengah ketakutan.
Menolak pemuliaan Soeharto bukan berarti menyerang sosok yang telah tiada. Itu berarti mempertahankan makna kebebasan bagi mereka yang masih hidup.
Sebab bangsa yang memuliakan penindasnya mengkhianati korbannya.
Bangsa yang menghapus lukanya akan mengulanginya.
Dan bangsa yang mengira diam itu damai akan kehilangan keduanya: damai dan martabat.
Ketika ditanya, “Lalu apa yang kalian tawarkan?” jawabannya sesederhana ini: kejujuran.
Sebab tak ada bangsa yang sembuh karena kebohongan.
Bangsa tidak menjadi kuat karena melupakan, melainkan karena berani menatap lukanya sendiri dan menamainya.
Kebenaran bukanlah dendam. Ia adalah satu-satunya fondasi tempat masa depan yang adil dapat berdiri.
Selama arwah masa lalu terus dibungkam, demokrasi hanya akan menjadi janji yang belum ditepati.
Pada akhirnya, Soeharto tidak perlu meminta untuk diadili. Sejarah telah melakukannya.
Dan sejarah, berbeda dari kekuasaan, tidak bisa disuap, tidak bisa disunting, dan tidak bisa dibungkam.
Waktu adalah pengadilan yang paling jujur. Ia membebaskan yang tulus dan menghukum yang menipu.
Jika Indonesia memilih untuk melupakan, dunia akan mengingat untuknya.
Sebab kebenaran, seperti halnya kebebasan, selalu hidup lebih lama dari para penjaganya.
Pesan moral zaman ini sederhana:
Mengingat adalah bentuk perlawanan.
Memaafkan tanpa kebenaran adalah pengkhianatan.
Memuliakan penindas adalah melukai masa depan.
Keagungan sebuah bangsa tidak diukur dari seberapa baik ia menyembunyikan masa lalunya,
tetapi dari seberapa berani bangsa itu menatapnya dengan jujur.





