⇒ Mengalami hal yang sama selama 37 tahun membangun rumah tangga.
⇒ Suaminya, Arkon Samosir hobi berjudi.
⇒ Ini pengakuan lengkap Lasmawati boru Sirait di rumah sakit.
⇒ Foto pelaku yang masih buron, mohon sebarkan.
LASMAWATI boru Sirait menjadi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh suaminya sendiri.
Peristiwa itu terjadi di depan rumahnya di Jalan Masjid, RT 09/07 Susukan, Ciracas, Jakarta Timur.
Dia dianiaya hingga babak belur. Kepala, tangan dan perutnya dibacok.
Dalam kondisi luka dan berlumuran darah, korban lalu diseret ke jalan dengan posisi wajah menempel ke aspal.
Peristiwa mengenaskan ini berlangsung pada Jumat (13/10) malam lalu. Korban dianiaya oleh suaminya sendiri, Arkon Samosir.
Juni Darwin, saksi mata kejadian itu mengungkapkan, peristiwa itu diketahui setelah korban menjerit dan berteriak.
“Minta tolong dari dalam rumah pada sekira pukul 18.30 WIB,” tuturnya.
Tidak berselang lama setelah mendengar suara teriakan, warga semakin heboh.
Terlihat korban diseret suaminya ke luar rumah.
Warga yang terkejut kemudian berteriak histeris.
Sementara korban berusaha berdiri dan minta tolong di depan salah satu toko.
Melihat kejadian itu, warga langsung mencari bambu dan golok lalu berteriak “serang”.
Warga berusaha menyerang Arkon Samosir.
Namun Arkon keburu kabur.

Kejamnya, saat kabur Arkon kembali mengayunkan golok ke kepala istrinya.
Untung tangan korban langsung refleks menghalangi golok tersebut hingga tangannya membengkak.
“Sudah datang warga, dia kabur, tapi lebih dulu kepalaku mau dibelahnya,” tutur korban di rumah sakit.
Melihat jumlah warga yang semakin banyak, pelaku melarikan diri.
Saat itu korban yang sudah bersimbah darah langsung dilarikan ke Rumah Sakit Umum Polri Sukanto Kramatjati.
Dalam pemeriksaan, diketahui jika korban dibacok dengan menggunakan golok.
Adapun tubuh korban yang mengalami luka bacok, pada bagian kepala sebelah kanan, tangan dan perut.
Sejumlah luka lebam juga ditemukan pada sekujur tubuh korban.
Kuat dugaan jika korban dianiaya dengan cara dipukuli hingga akhirnya diseret dari ruang tamu rumah hingga ke aspal depan rumah.
Mirisnya, kondisi korban yang sudah tidak sadarkan diri itu diseret dengan posisi wajah menghadap aspal.
Sehingga kondisi wajah korban yang sudah terlihat berlumuran darah semakin dibanjiri darah lantaran wajah yang tergores aspal.
Terkait temuan tersebut, dirinya bersama warga kemudian melaporkan kejadian tersebut ke Mapolsek Ciracas, Jakarta Timur pada Jumat (14/10).
“Pihak keluarga hanya ingin pelaku ditangkap, karena telah melakukan perbuatan keji. Polisi sudah datang dan minta keterangan, korban kondisinya masih dirawat intensif di Rumah Sakit Polri Sukanto,” terang Juni Darwin di Warta Kota, Sabtu (14/10) malam.
Kasus ini masih ditangabi pihak Polsek Ciracas dalam Laporan Polisi Nomor 106/K/X/2017/SEK.CR.
Hingga kini, pemeriksaan terhadap korban dan sejumlah saksi yang merupakan keluarga dan tetangga korban masih dilakukan.
Sedangkan pelakunya, Arkon Samosir, diketahui masih buron.

Kemudian Rabu (18/10), beredar di Youtube, video pengakuan Lasmawati boru Sirait (korban).
Dengan terbata-bata dan sambil menangis, dia menceritakan awal mula kejadian itu.
Berikut penjelasannya , sesuai dengan yang dikatakan Lasmawati dalam video:
Perlakuan Arkon Samosir sebelum membacok dan menyeret istrinya di aspal….
(Belakangan diketahui) ternyata dia masih main judi.
Saya nangis sejadi-jadinya.
Sambil saya (benturkan) kepala saya di dinding.
Begitu terus.
Kadang-kadang saudara-saudara saya ini datang, juga sekalian disitu dia marah.
Jadi kalau ada yang ngelihatin saudara juga dia pasti marah.
(Dulu) dalam keadaan menyusui juga saya pasti dia main lempar.
Kalau ada apa aja masalahnya, dia gak mau kasih tahu, terus terang gitu.
Atau dengan baik-baik dibicarakan, gak pernah.
Diselesaikan sama-sama gitu kan.
Saya tanya, apa sih yang abang fikirin, ya sama-sama dulu kita juga gak punya.
Sekarang punya rumah kenapa gak diperbaiki aja, apa yang bisa kita lakukan.
Tapi gak terima tuh, lanjut terus.
Tapi Tuhan baik banget, saya dijadiin tabah.
Semua dagangan saya tambah bisa banyak, ada sembako, ada pakaian.
Laris semua dengan dikreditin.
Lapuk, bisa lah aku masih perbaikin.
Dia memang debt collector, tapi jarang dia kasih uangnya sama saya.
Sudahlah gak apa-apa.
Saya toh bisa cari uang.
Tiap hari orang-orang juga bisa membeli dengan banyak sekali.
Kadang kasihan melihat saya karena tingkah lakunya.
Dan banyak dagangan saya diborong.
Apalagi, keluarganya bang Malik klontong itu, apa saja yang dijual pada mereka pasti dibeli.
Mereka membantu saya, tetangga-tetangga juga membantu saya.
Karena dilihat tingkah lakunya, saya pernah kaget, digolokin TV, saya lagi nonton TV, TVnya digolok.
Sampai pecah gak bisa nonton TV lagi.
Saya biarin, udah lah, saya beli TV aja dikredit juga bisa, difikiran saya begitu.
Tapi gak berubah, tetap (main) judi, (main) judi terus.
Rupanya, kalau dia dapet duit dari debt collector itu dihabisin aja buat main judi.
Malah sering saya minta uang, katanya itu uang orang, bukan uang saya.
Terus gimana uang sekolahnya anak-anak.
(Suami menjawab) ya cari aja lah, yang bikin sekolah itu kan kamu, kenapa harus disekolahin.
Anak-anak ini juga saya kuliahin diam-diam jadinya, karena apa, karena gak boleh kuliah.
(Suami menjawab) dikuliahin untuk apa, gak akan jadi apa.
Ya gak gitu, kita kan (tamatan) SMA, anak pastinya sampai Sarjana lah, gitu.
Dia itu juga anak kedua, bisa jadi Sarjana.
Akan saya sekolahkan dengan sebaik-baiknya saya fikir gitu.
Biarpun dia bilang gak usah.
Pernah saya dapat (uang dari) arisan, tahun 2000, Rp 4 juta.
Anak saya yang pertama minta komputer.
(Suami menjawab) gak usah, jangan, untuk apa dibeli itu, gak akan jadi apa-apa.
Karena dia bagian (jurusan) komputer saya kira itu lebih baik saya belikan komputer.
Saya suruh anak saya beli, kamu harus jadi sarjana komputer amang ya.
Harus jadi orang, dibeli anak saya, biarin, saya bikin kamar di atas.
Rumah yang sederhana itu, biar anak saya itu bisa disana juga belajar dengan tenang.
Dia menyaksikan semua perkara kami.
Anak-anak ini menyaksikan semua apa kejadiannya.
Tapi tetap saya lindungi anak-anak jangan sampai dendam sama bapaknya.
Jangan amang, jangan marah, itu bapakmu, kubilang gitu.
Lalu kupeluk anak-anakku.
Sesudah itu, saya dikasih rezeki sama Tuhan.
Orang-orang di sekitar saya menawarkan.
Rumahmu jelek, tanah kecil (sempit), dengan menyilik, kucicil itu satu per satu saya punya kontrakan.
Jadi lah itu sama rumah yang di depan sekarang yang saya beli itu termasuk itu adalah kreditan.
Menyicil, itu menyicil dulu.
Ya, Alhamdulillah bisa sekarang saya toko sebesar itu.
Dia makin cemburu, cemburu sosial dia makin gak bisa nyari duit lagi.
Tapi saya bilang, jangan gitu pak, yang penting kita ini orang baik-baik.
Makan sama-sama lah.
Kalau memang bisa beli sate, ayo kita beli sate, beli sop ayuk.
Kalau tidak bisa ya makan ikan asin dulu.
(Suami) gak terima, asal punya uang dari mana saja selalu (dihabiskan untuk) judi, minum (minuman keras), sampai gawat udah pernah.
Ngamuknya itu sampai nunjukin golok, gak ada berantem gak ada apa, gak tau kenapa marahnya samaku.
Simpanlah (sifat) burukmu itu, jangan gitu.
Bapakku pun gak pernah nyubit aku juga, kubilang gitu.
Sering (keluar) kata “membunuh” itu dari mulutnya.
Tapi aku bilang ‘ya Tuhan, kapan aku bahagia Tuhan Kasih, aku mau utuh keluarga ini dengan baik-baik saja’.
Tapi makin marah, makin tidak pernah didengarkan Tuhan, menurut saya.
Terus saya berdoa, katanya dinyanyi-nyanyiin tuh, lagi berdoa pun dinyanyiin.
“Tidak ada lagi gunanya, kenapa harus berdoa” nyanyian suami mengejek.
Ke gereja pun gak boleh, tapi kalau memang itu maunya, sudah lah.
Gak dilihat dia saya berdoa.
Berdoa di kamar juga bisa.
Saya fikir gitu.
Ke gereja pun sementara saya stop.
Sudah lima bulan.
Terakhir ini, awal pemicu kejadian ini, malam hari setelah tutup toko, dia minta uang sama saya.
Uang apa, pak? untuk apa? Kalau uang Rp 500 ribu sih gak apa-apa ya, saya gitu.
(Suami menjawab) enggak! Harus banyak!
Untuk apa?
Besok saya harus bayar switi Rp 15 juta ada uang tapi mau dipakai besok.
Enggak, harus banyak, katanya gitu.
Jangan, pak. Gak ada uang selain itu.
Lalu dia masuk ke kamar, lalu dapatnya dimana tempat saya nyimpan uang itu.
Pantasan uang saya suka habis.
Ternyata uang selama ini kalau saya hitung-hitung, kadang kurang Rp 500 ribu, kadang kurang Rp 200 ribu, kadang Rp 300 ribu, mungkin dicomotin.
Tapi gak apa-apalah saya fikir, asal jangan diambil itu (semua) uangnya, tapi diambil Rp 10 juta.
Tadinya mau Rp 15 juta, jatuh itu yang Rp 5 juta dikantong di tempatnya.
Langsung dikantongin, itu kan uang belanja besok.
Enggak, emang uang belanja saya yang bayar?
Tapi saya biarin daripada saya berantam, aku tidur aja udah sambil nangis, dia pergi.
Tiga hari kemudian gak pulang, uang itu mungkin udah habis.
Datang dia, diam, saya pun diam.
Dia datang, “saya udah bilang, saya tidak suka lagi sama kamu, saya udah mau cerai sama kamu, saya ceraiin kamu”.
Saya bilang kenapa sih kamu dari dulu ngomongnya kayak gitu, perjuangan (membangun rumah tangga) 30 tahun.
“Gak suka lagi saya sama kamu, cerai aja kita, makasih, ini uangnya lagi”.
Kalau mau cerai, cerai ajalah, saya bilang gitu.
Gak perlu lagi (uang itu) kalau memang kayak gitu.
Semenjak itu saya gak ngomong, sampai tiga bulan kemudian.
Dia datang, tiga bulan itu datang terus pulang.
Karena gak pulang, anak saya bilang “bapak itu kalau mau masuk ke rumah, karena pintu pagar itu gak bisa dibuka dari luar, bapak harus pulang sebelum mamak tutup”.
Jadi dia pulang kadang-kadang jam 9, jam 8, ya udah, saya diam-diam.
Dia tetap tidur di situ, saya tidur ke kamar.
Saya takut diapa-apain.
Kemudian, setelah tiga bulan anak saya yang gede itu saya suruh (angsuran) mobil, karena tiga bulan setelah kejadian itu (mencuri uang) saya suruh bayar mobil barang yang di depan rumah saat ini ada.
Setelah dibayar, (anaknya bilang) STNK juga mati.
Timbul ngasih uang, nanti saya bayar ya Bul.
Nanti kalau misalnya over credit ke kamu, nanti bisa gampang kalau STNK nya jalan.
Jadi diperpanjang STNK (selesai 3 minggu).
Pemicunya, setelah itu, sebulan itu STNK ditaruhnya di tas.
Tas itu ditaruh aja di ruang tamu, digeletakin.
Nah setelah itu, saya fikir kan perlu disimpan STNK nya.
Saya ambil, disimpan.
Nah, setelah lima hari STNK itu saya simpan, dia bilang sama anak buahnya Timbul lagi ngantar barang ke toko.
(Suami) tanya dulu Timbul, STNK dimana, kenapa gak ada di tas saya itu.
Anak saya nelpon, “bang Timbul, STNK sama bos (ibu) ya?” “Enggak, kata Timbul”.
Ditutup toko (oleh suami), itu pas kejadian hari Kamis itu.
Kamu yang ngambil STNK ya. Tanya sama saya.
Iya saya simpan, emang kenapa, kalau mau pakai ya pakai aja.
Kan kamu jarang di rumah, kalau Timbul mau pakai mobil itu kan bisa gampang saya kasih.
“Ah, saya bunuh kamu” jawab suaminya.
Saya sudah sering digituin, panas memang.
Mau digampar sekali tapi tangan saya gampar duluan.
Lalu digampar lagi sama dia.
Terus, pergi ke dapur ngambil golok itu.
Pagar saya buka, saya takut, jangan sampai tertutup.
Pagar saya buka dan saya tahan dengan badan saya.
Ayunan (golok) pertama, “saya bunuh kamu, saya matiin kamu, harus mati malam ini, masuk”, kata suaminya.
Ditarik rambut saya, masuk! kamu harus mati malam ini ya!
Gak mau saya bilang, “tolong pak, tolong, ampun pak” saya bilang.
“Kau harus mati gak ada ampun”
“Tolong pak” saya bilang sama orang-orang yang lewat.
“Gak ada yang nolong kamu, kamu harus mati” (mengayunkan golok ke kepalanya).
Gitu sampai terus-terusan ke kepala saya.
Tapi warga gak tahan lagi.
Aduh gimana nih pada ngambil bambu sama golok, serang (kata warga).
Begitu ada kata “serang” baru dia mau berhenti, terakhir mau lari, ini mau dibelah kepala saya.
Saya tangkis gini (dengan lengan).
Tuhan, tolong, saya bilang.
Ini (lengan) sampai bengkak segini.
Warga sudah ngejar dia langsung pergi.
Untung aja Tuhan nolong aku.
Warga dan Pak RT sudah siap membawa saya ke rumah sakit.
Pak, tolong saya pak, saya bilang.
Anakku si Olo juga datang, menangis.
Mamak kenapa mak, ayo lah mak berobat kita biar sehat mamak.
Jangan difikirin dulu yang lain, dibilang gitu.
Warga selamatkan (isi toko), tapi sebelum itu dia (suami) mengambil HPku.
Timbul datang.
“Bang Timbul, mamak digolok bapak”.
Lalu saya pergi (ke rumah sakit).
Di rumah sakit terdekat, tapi kami ditolak, karena memang mereka bilang KDRT juga itu udah percobaan pembunuhan juga ini, harus divisum, kata mereka.
Saya dibawa lagi ke mobil.
Tiga puluh tujuh tahun pak (membangun rumah tangga), hasilnya begini.
Korban juga mengatakan bahwa keluarganya pernah tidak menyukai calon suaminya, namun dirinya menenangkan keluarganya waktu itu.
“Kalau saya dekat sama Tuhan, Tuhan akan beri pertobatan,” katanya.
“Ternyata sekarang enggak, putus, saya gak mau lagi, untuk bertemu lagi dengan dia apalagi bersatu, tidak Tuhan, ampun, saya gak mau lagi Tuhan, aku mau bahagia di sisa hidupku ini,” doanya ketika kepalanya dijahit.
“Aku mau bahagia, kalau anak-anakku sayang sama aku, terima kasih Tuhan, akan kutunggu kebaikan anak-anakku, yang susah payah kusekolahkan, sampai mereka dewasa,” katanya mengakhiri.
Ini videonya:
Discussion about this post