Awak kapal juga tidak pernah membuat manifest penumpang dan barang. Tidak adanya syahbandar maupun inspektur sungai dan danau sebagai fungsi pengawas keselamatan pada saat kapal hendak berlayar membuat kondisi ini telah terjadi selama bertahun-tahun sebelumnya.
Ketidakjelasan instansi yang berwenang menerbitkan SPB, keadaan ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, sehingga SPB tidak pernah diterbitkan.
Nakhoda tidak pernah membuat laporan kedatangan dan keberangkatan kapal untuk dilaporkan kepada instansi penerbit SPB.
Aturan kelengkapan kapal penyeberangan belum dipahami dengan baik oleh operator kapal dan instansi yang berwenang mengeluarkan sertifikat kapal.
Hal ini terlihat dari tidak lengkapnya peralatan minimal maupun peralatan keselamatan kapal yang digunakan untuk mengangkut penumpang, seperti radio komunikasi baik di atas kapal dan di pelabuhan.
Dalam rekomendasinya untuk mencegah kejadian kecelakaan serupa, KNKT meminta kepada Kementerian Perhubungan RI untuk mengkaji ulang Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 73 tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sungai dan Danau yang diperbarui dengan Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 58 tahun 2007, ataupun SK & SE Ditjen terkait standar keselamatan angkutan sungai dan danau agar menyesuaikan dengan peraturan yang lebih tinggi (UU no 23 tahun 2014).
“Kami juga merekomendasikan agar ditetapkan instansi penanggung jawab penerbitan Surat Ukur, Sertifikat Kelaikan, SPB, dan pengawasan yang memiliki kompetensi sesuai bidangnya. Lalu kami mengharapkan untuk dilakukan evaluasi ulang silabus pelatihan untuk awak kapal (SKK) dan melakukan pelatihan kepada seluruh awak kapal untuk angkutan kapal sungai, danau, dan tradisional,” jelas Soerjanto.